Muh. Zulkifli
3 min readNov 8, 2023

Dewi Padi dalam Kepercayaan Masyarakat Agraris di Tanah Bugis

author's personal documentation

Masyarakat Bugis kuno mempercayai adanya kekuatan dan kekuasaan dewa-dewi, mereka berkuasa di Botting Langi’ (dunia atas) dan Péretiwi (dunia bawah). Dalam Sure’ La Galigo yang berkuasa di dunia atas ialah To Patoto’é bersama istrinya Datu Pallingé’ dan di dunia bawah Péretiwi yakni Guru Ri Sellé’ bersama istrinya Sinau’ Toja, dan membagi kosmologi secara vertikal Botting Langi’ (dunia atas), Ale Lino (dunia tengah), dan Péretiwi (dunia bawah).

Sure’ La Galigo yang merupakan pedoman masyarakat Bugis pada zamannya, menurut sebagian ahli, Sure’ La Galigo tergolong kedalam epos (epik mitologis) yang menceritakan tentang dewa-dewa dan asal usul manusia di bumi. Ada pula yang menyatakan La Galigo merupakan karya sastra. Beberapa ahli juga berpendapat bahwasanya La Galigo merupakan kronik (catatan sejarah).

Awal Mula Padi

Terlepas dari pendapat beberapa ahli, La Galigo menempati posisi penting dalam kehidupan masyarakat Bugis yang dikenal sebagai masyarakat maritim dan masyarakat agraris.

Kehidupan masyarakat maritim dalam Sure’ La Galigo, tergambarkan dalam episode-episode yang menceritakan tentang cucu Batara Guru yakni Sawerigading yang berlayar ke berbagai negeri-negeri, seperti pelayarannya ke negeri Cina untuk mempersunting I We Cudaiq menjadi istrinya.

Pada mulanya masyarakat pada waktu itu mengkonsumsi jagung dan gandum sebagai makanan pokok. Kelak di kemudian hari barulah masyarakat menjadikan padi sebagai makanan pokok.

Sure’ La Galigo menggambarkan asal muasal hadirnya tanaman padi di muka muka bumi setelah salah seorang selir dari Batara Guru yakni We Saung Riuq melahirkan seorang anak berjenis kelamin perempuan yang di beri nama We Oddang Riuq.

Tujuh malam setelah kelahirannya, We Oddang Riuq meninggal dunia. Maka dicarikanlah hutan belantara yang lebat, kemudian dibuatkan makam mulia peristirahatannya. Tiga malam wafatnya We Oddang Riuq, dirundung rindulah Manurungngé (Batara Guru) pada anaknya. Pergilah beliau mengunjungi tempat peristirahatan putrinya, alangkah terkejutnya Batara Guru melihat tumbuh berjejer padi yang masak. Ada yang warna merah, kuning, putih, hitam dan ada pula yang berwarna biru, merinding bulu roma Manurungngé menyaksikan padi yang terhampar luas.

Dengan segera Batara Guru naik ke dunia atas (Botting Langiq), menemui To Patoto’é (Sang Penentu Nasib), setelah menghaturkan sembah kepada To Palanroé (Sang Pencipta) maka beliau mengutarakan maksud kedatangannya tentang tempat peristirahatan putrinya yang ditumbuhi tanaman padi.

Berkatalah La Patigana To Patoto’é, “Anakmu yang meninggal itu adalah Sangiang Serri” (Dewi Padi). We Oddang Riu’ menjelma jadi padi untuk kelak menjadi makanan buat manusia di muka bumi. Maka segeralah turun ke bumi menjaga dan merawat padi-padi tersebut. Jangan engkau biarkan padi-padi tersebut rusak apalagi dimakan oleh hama dan binatang lain. Petiklah padi yang tumbuh di kuburan anakmu tetapi jangan dimakan simpanlah padi tersebut di rakkeang (loteng rumah). Jangan sekali-kali menghambur-hamburkan padi tersebut, kalau sudah menjadi nasi maka tidak boleh terbuang walau sebutir. Bila engkau dan keturunanmu tidak memperhatikan hal tersebut, maka We Oddang Riu’ akan marah. Bila Dewi Padi marah, maka padi-padi yang ditanam oleh manusia tidak akan berhasil karena diserang oleh hama suruhan Dewi Padi”.

Pesan dari Patoto’é masih dapat disaksikan pada hari ini, masyarakat bugis yang menghormati padi sebagai makanan pokok bagi manusia, lewat ritual yang dilakukan sebelum turun ke sawah untuk membajak sawah dan sesudah panen dengan melakukan ritual masalama’ paggalung (selamatan petani).

Tulisan ini sebelumnya telah terbit di Washilah.com

Muh. Zulkifli
Muh. Zulkifli

No responses yet